Ratu Adil

            
Ratu Adil by Sartono Kartodirdjo
Ratu Adil
          Fenomena munculnya ideologi Ratu Adil sebenarnya akibat dari proses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, terkhusus di Jawa. Ratu Adil digambarkan sebagai sang juru selamat yang akan membawa kemakmuran bagi negeri. Gerakan ini berkembang pesat pada pertengahan abad 19 hingga pertengahan abad 20.
          Sartono Kartodirdjo sangat detail menjelaskan berbagai macam peristiwa yang bergejolak yang berasal dari kelompok keagamaan ini. Peristiwa tersebut adakalanya murni karena ketidakadilan atas herarki sosial-ekonomi yang ada dimasyarakat, benturan pemahamaan antar ideologi yang berujung pada protes aksi hingga perang sabil, ataupun dibumbui dengan berbagai macam mitos, legenda, primbon, atau ramalan yang bercampur dengan kepercayaan lokal (baca: abangan) tentang datangnya sang juru selamat (millenarianisme).
         Tidak mudah untuk menilai gerakan ratu adil (mesianisme) dari berbagai tempat di Jawa, karena memiliki motif dan sebab yang khas yang mendasari munculnya ideologi tersebut. Namun jika dilihat lebih mendalam, setidaknya ada tiga persamaan dari gerakan Ratu Adil ini, yaitu watak pemimpin, pola ideologi, dan sistem kepercayaan.
      Pemimpin gerakan Ratu Adil biasanya melegitimasi dirinya sendiri sebagai pembawa wahyu, prophet, orang suci, kyai, ataupun mengaku keturunan dari nama-nama besar kerajaan zaman Hindu-Buddha, katakanlah prabu Brawijaya ataupun Siliwangi. Pemimpin ini tidak muncul secara tiba-tiba, namun melewati proses yang panjang dalam mempengaruhi masyarakat sekitar. Seperti keahlian menyembuhkan berbagai macam penyakit, kebal terhadap benda tajam, ataupun mempunyai jimat-jimat yang dipercaya mempunyai kekuatas magis (magic mysticalism). Setelah itu, barulah sang tokoh mengaku dirinya sebagai Mesias atau juru selamat. Masyarakat dengan mudah akan percaya, terlebih sang Mesias meramalkan bahwa hanya pengikutnyalah yang akan selamat dari kebobrokan yang terjadi dihari kemudian.
        Ciri-ciri kepemimpinan seperti yang dijelaskan diatas membawa pengaruh yang besar dalam tata kemasyarakatan, khususnya di desa. Basis kekuatan ratu adil biasanya dari kalangan bawah atau kaum petani. Oleh karenanya, pemerontakan yang terjadi atas nama Ratu Adil sebenarnya pemberontakan kaum petani yang disebabkan oleh ketidakadilan yang terjadi oleh sistem yang dibangun pemerintah. Pola ideologi terbangun dengan sangat revolusioner karena menolak perubahan yang memarjinalkan masyarakat kaum bawah.
        Dambaan tentang kehidupan yang lebih baik menjadi tujuan akhir dari kepercayaan datangnya Ratu Adil ini. Mereka berharap bahwa tidak ada lagi masalah yang akan terjadi karena telah datang sang Mesias yang membawa keadilan dan kemakmuran bagi negeri-nya. Tidak ada pajak, tanam paksa, ataupun pungutan-pungutan yang sering dilakukan oleh pemerintah. Kehidupan akan lebih enak bagi masyarakat jika perubahan yang dilakukannya benar-benar berhasil. Namun sejarah mencatat tidak ada satupun gerakan Ratu Adil yang benar-benar sukses. Semuanya pasti berakhir dengan tragis ataupun mendekam di penjara.
       Sebut saja peristiwa Nyi Aciah pada tahun 1870-1871. Gerakan ini bermula saat Nyi Aciah dipercaya mempunyai kekuataan mistis -terutama dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit. Oleh karena itu, Nyi Aciah begitu dihormati oleh masyarakat sekitar. Puncak gerakan ini adalah ketika Nyi Aciah meramalkan akan muncul kerajaan baru dan dirinya mempunyai peran serta didalamnya.
          Masyarakat kemudian menobatkan Nyi Aciah sebagai Ratu Tegalluwar (Jawa Barat) dan Hasan Mohammad sebagai wakilnya. Hasan Mohammad sebanarnya telah lama belajar agama namun sekembalinya ke desa malah praktek menjadi dukun. Adanya surat tobat adalah ide dari Hasan Mohammad.  Nyi Aciah pun kemudian dipercaya masih keturunan dari Sunan Jumadilkubra yang sangat dihormati. Karenanya, para pejabat setempat seperti bupati, pangeran, bangsawan didesak tidak boleh mengusik gerakan Nyi Aciah.
          Pada Mei 1871, Nyi Aciah dan para pengikutnya berkunjung di Malangbong. Mereka disambut dengan sangat meriah, sumbangan-sumbangan diberikan kepada para pengiringnya. Namun, gerakan ini kemudian segera ditumpas oleh pemerintah Belanda. Para pimimpin gerakan beserta pengikutnya ditangkap. Suluruh gerakan ini akhirnya padam.
     Hal serupa terjadi pada gerakan kobra atau jumadilkubra yang dipimpin Achmad Ngisa di Pekalongan (1871), kemudian ada lagi gerakan Djasmani di Kediri sekitar tahun (1887), Peristiwa tanggerang (1924) yang dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah. Semua gerakan ini mempunyai pola yang sama, yaitu anggapan bahwa pemimpin mereka adalah Ratu Adil yang akan membawa keadilan dan kemakmuran, dan satu-satunya cara untuk mewujudkannya adalah dengan melawan kekuasaan.

Tulisan tentang:
Mobilisasi Petani dan Perkembangan Politik Indonesia
Mobilisasi petani tidak lepas dari peran organisasi-organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup kaum petani, khususnya para buruh. Organisasi yang paling kuat pada tahun 60-an adalah Barisan Tani Indonesia (BTI). Organisasi ini mampu mengait para kaum tani diberbagai tempat untuk menjadi anggotanya.
Mobiliasasi kaum tani oleh BTI sebenarnya ada kaitannya dengan organisasi politik yang menaunginya, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Persebaran ideologi dengan mudah masuk melalui sarana organisasi masyarakat kaum tani. Oleh sebab itulah, perjuangan BTI sebenarnya adalah untuk segera melaksanakan revolusi agraria atau land reform. Perlawanan ini kemudian ditujukkan kepada kaum konservatif yang masih mendukung adanya kaum pemilik modal (kapital) atau kepada para tuan tanah. Singkatnya, BTI dan PKI mengharapkan distribusi tanah yang adil kepada para buruh tani ataupun yang tidak mempunyai tanah. Flampet-flampet ataupun semboyan-semboyan tersebar luas, seperti “Tanah untuk Kaum Tani”, “Pembagian tanah secara Cuma-Cuma untuk semua petani tak bertanah dan petani miskin”, dan lain-lain sebagainya. Oleh karena itu, anggapan terhadap kaum yang tidak mendukung ideologi ataupun pemikiran itu disebut sebagai kaum kontra-revolusioner.
     Mobiliasai Petani jelas sangat mempengaruhi politik pada tingkat nasional. PKI dan BTI mengobarkan pergolakan-pergolakan bahkan sampai tingkat desa. Kerusuhan-kerusuhan terus berkobar diberbagai tempat, bahkan disuatu desa sudah melaksanakan pembagian tanah secara sepihak. Itulah sebabnya tensi politik pada saat itu semakin memanas. Polarisasi antar kaum tani tidak bisa dihindari.
Kebencian terhadap salah satu partai politik mengarah kepada kerusuhan yang tak berujung. Walaupun rezim sudah merestui tentang adanya ideologi Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) untuk bersatu, namun yang terjadi dilapangan tetap merasakan ketegangan. Satu kelompok menginginkan perubahan total atas status-quo yang merugikan para kaum bawah, sedangkan kelompok lain menganggap perubahan sudah terjadi hanya tinggal melaksanakan suatu pembangunan. Puncak dari perdebatan sengit antar kelompok inilah yang kemudian terjadi pada peristiwa 1965. Wallahua’lam.

Ditulis oleh:
Akhmad Fakhruroji
Yogyakarta, 9 Juli 2020
Pukul 19.05 WIB
   
Buku:
Sartono Kartodirdjo (1984), Ratu Adil, Jakarta: Sinar Harapan.

Posting Komentar

0 Komentar